4. SAHABAT KARIB Pada suatu hari, ketika Pedang dan ibunya duduk-duduk di serambi muka, berkata Pedang dengan lemah lembut : "Ibu, berilah aku sesuatu peninggalan ayah. Aku sudah dewasa, aku hendak pergi merantau mencari ilmu'pengetahuan dan ilmu kesaktian guna mempertahankan diri." Mendengar ucapan Pedang itu, ibunya menangis tersedu-sedu. "Ibu tak usah bersusah hati. Dengan do'a restu ibu, akan berhasil usaha Pedang dan Pedang akan lekas kembali. Nanti ibu akan gembira melihat anak ibu telah menjadi seorang pahlawan yang tangkas dan perkasa." Ibunya membenarkan juga kata-kata anaknya itu. "Ya, Pedang, harta pusaka ayahmu telah habis kujual untuk ongkos hidup kita dan memeliharamu. Pedang yang tergantung di dinding itu sajalah yang tinggal lagi. Pedang itu agak pendek dan bengkok, adalah pedang sakti dari ayahmu. Ambillah dan jagalah pedang itu baik-baik. Dengan pedang di pinggang, tidak takebur dan percaya kepada Tuhan, kau akan terhindar dari bermacam-macam bahaya." Segera Pedang berdiri, lalu mengambil pedang bengkok itu dari dinding. Telah penuh debunya. Dibersihkannya dan ditariknya senjata itu dari sarungnya. Sudah berkarat benar matanya. Diambil Pedang batu asahan, diasahnya sampai tajam dan berkilat-kilat pusaka ayahnya itu. "Ibu, bukan main wanginya pedang ini," seru Pedang. "Mulai hari ini ibu namai aku "Pedangwangi" Esok pagi-pagi Pedang hendak berangkat mengadu untung di negeri orang." Pagi-pagi betul Pedangwangi telah berdiri dengan pedang di balik kain sarung yang dibelitkan pada pinggang. la berdestar, berbaju teluk belanga. Tampan betul kelihatannya. Dipeluk dan diciumnya ibunya, lalu menyembah: "Ibu do'akan si Pedangwangi ini. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan dan halangan bagi anak ibu untuk menjadi orang ternama dan jujur. Kehendak Tuhan dan do'a restu ibu akan melimpahkan rahmat terhadap anak ibu ini." "Yang penting Pedangwangi, hendaklah anakku jujur dan jangan sombong. Dengan hormat dan sopan santun terhadap siapapun, akan tercapailah niat anakku," jawab ibu. Banyak nasehat dan petunjuk yang diberikan ibu kepada Pedangwangi. Berangkatlah Pedangwangi dengan langkah yang tegap serta melambaikan tangan dan senyum manis kepada ibunya. Dengan muka sedih ibunya memandang anak tunggalnya itu menghilang masuk hutan. Pedangwangi berjalan ke utara dengan bersiul-siul kecil. Sesudah sejam berjalan, bertemu ia dengan seorang yang sebaya dengan dia. Ia bertanya: "Hai, hendak ke mana Saudara?" "Saya hendak mengembara mengadu untung. Namaku Bintangsari. Mudah-mudahan bintangku ini bersinar cemerlang dan dapat aku hidup berbahagia," jawab pemuda itu. Diperlihatkannya sebuah bintang bersinar-sinar bermata lima, sangat tajam. "Kalau demikian sama maksud kita," jawab Pedangwangi. "Marilah kita ikat persahabatan dan menjadi saudara sehidup semati." Berpeluk-pelukanlah mereka. Tidak berapa lamanya mereka berjalan bertemulah mereka dengan seorang pemuda lain. "Hai, hendak kemana Saudara-saudara ini"? seru pemuda itu. "Bolehkah aku ikut bersama-sama?" "Baiklah," jawab Pedangwangi, dan Bintangsari. "Tetapi mengapa engkau selekas itu mau mengambil kami sebagai Saudaramu?" tanya Bintangsari. "Karena kita bertiga sebaya dan sama kuat dan cakap. Saya hendak merantau, hendak mencari pengalaman. Kalau kita bertiga bersatu, tentulah lebih cepat dan mudah kita mencapai kehendak kita. Bersatu kita kokoh, bercerai kita roboh. 0, ya, saya perkenalkan diri saya dahulu. Nama saya: Duyungtunggal. -Aku pandai berenang dan menyelam seperti ikan duyung." Diceritakan Duyungtunggal bahwa senjatanya hanya sebuah busur dengan sebuah anak panahnya. Anak panah itu sangat sakti. Apabila dilepaskan dari busurnya, ia dapat membunuh berpuluh-puluh musuh. Kemudian ia kembali sendiri ke dalam tabungnya. Dengan bersenda gurau mereka bertiga meneruskan perjalanan mereka. Tidak berapa lamanya sampailah mereka di sebuah kota besar. Di tengah kota itu ada sebuah istana yang indah. Di sekeliling istana itu, orang sedang mengadakan perlombaan melompati parit yang lebar dan berair. Hadiahnya seorang puteri raja yang cantik dari negeri itu. Siapa yang sampai ke seberang akan menjadi menantu raja. Tetapi, barang siapa yang jatuh ke dalam air, akan dipenggal lehernya. Amat muluk hadiah ini, akan tetapi luar biasa kejam syarat-syaratnya. Banyak anak-anak raja yang telah hilang nyawanya karena jatuh ke dalam parit itu. Sungguhpun demikian masih banyak anak-anak bangsawan dan pemuda-pemuda yang merindukan tuan puteri. Pedangwangi, Bintangsari dan Duyungtunggal telah sampai pula di tempat perlombaan itu. Mereka ber-pandang-pandangan dan berdiam diri. Sudah itu mereka tertawa terbahak-bahak. "Bintangku berkilau-kilauan. Kita beruntung dan aku akan menjadi suami tuan puteri!" teriaknya riang. "Kita bertiga akan dapat melompati parit itu." kata Bintangsari. Mereka dekati parit itu dan gelak senyum membayang di muka mereka. Memang tak seorangpun yang bisa melompati parit itu. Tahulah mereka, bahwa yang dimaksud tidak lain dari melompatinya sampai ke seberang. Bintangsari berkata: “Marilah kita mencoba melompati parit yang lebar ini. Rasanya, sekali lompat sampai kita ke seberang” Segera mereka mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam perlombaan itu. Bintangsari berkata: "Andaikata kita tidak berhasil, marilah kita bersama-sama menemui ajal kita. Saya ingin beristerikan tuan puteri itu." "O, ada akal!" jawab Duyungtunggal. "Bukankah kita pandai melompat dengan galah. Raja menghendaki ke seberang saja." "Benar juga pendapatmu itu," kata Pedangwangi. Tidak berapa lama kemudian muncul Pedangwangi Bintangsari dan Duyungtunggal masing-masing dengan sebuah bambu, yang panjangnya kira-kira tiga meter. Di tepi parit sudah penuh penonton, untuk menyaksikan perjuangan hidup mati itu. Kalau jatuh ke air tentu kepala pemuda-pemuda itu akan dipancung. Alangkah tercengang mereka melihat pemuda-pemuda itu masing-masing dengan sebatang galah ditangannya. "Satu, dua ..., tiga ...!" teriak Bintangsari dengan lantang. Ke tiga pemuda itu berlari dengan memegang galah itu merata, mula-mula perlahan-lahan. Kemudian bertambah cepat ... Hap, mereka melayang di ujung galah di atas air, dan ... hap! Sampailah mereka di seberang. Gegap gempita tepuk sorak para penonton. Sri Baginda menyuruh membawa ketiga pemuda itu di dalam kereta kerajaan berkeliling kota, menunjukkan kegembiraan Baginda. Di istana Baginda bersabda: "Hai, anak-anakku, siapakah di antara anak-anakku ini yang suka beristerikan puteriku?" Pedangwangi menjawab: "Ya, Tuanku Syah Alam! Bintangsari lah yang akan menjadi suami tuan puteri, Tuanku!" "Kalau begitu, anak-anakku yang berdua ini akan kuberi jabatan yang tinggi dalam negeri ini!" titah Baginda. "Ya, Tuanku Syah Alam, angkatlah Duyungtunggal menjadi pahlawan negara ini. Patik akan meninggalkan istana, karena belum sampai yang patik cita-citakan semenjak kecil," sembah Pedangwangi. Pada waktu pernikahan Bintangsari dengan puteri Baginda, diadakan keramaian yang luar biasa ramainya. Disajikan bermacam-macam permainan untuk raja-raja dan rakyat di sekeliling negara yang diundang. Berbondong-bondong mereka datang menghadiri pesta yang bukan kepalang meriahnya. Empatpuluh hari empatpuluh malam mereka bersukaria. Ketika Pedangwangi hendak meninggalkan istana, bertangis-tangisan ketiga sahabat karib itu. "Hai, sahabat-sahabatku!" berkata Pedangwangi "aku akan meninggalkan negeri ini. Sungguhpun demikian persahabatan kita tidak akan berkurang, melainkan akan bertambah akrab. Perhatikanlah ini! Aku potong ujung destar ini. Aku pakukan di atas pintu ini. Kalau nanti ada darah menetes dari potongan destar ini, carilah aku, Bintangsari dan Duyungtunggal! Tandanya aku dalam bahaya." Berangkatlah Pedangwangi dengan langkah yang tegap menuju ke utara. Tidak berapa lamanya berjalan, sampailah ia pada sebuah simpang empat. Tak tahu ia, kemana ia harus meneruskan perjalanannya. Untung benar tidak jauh dari situ kelihatan olehnya sebuah menara. Diayunkannya langkah ke tempat itu. Seorang tua bertongkat datang menyongsongnya. "Kakek," berkata Pedangwangi dengan hormatnya. ""Cucu hendak mengembara, tetapi tak tahu ke mana hendak pergi. Ke empat simpang itu bagus semuanya. Dapatkah kakek mengatakan, ke mana arahnya simpang-simpang itu?" "Cucuku yang budiman! Jarang orang datang ke-padaku, bertanya jalan mana yang harus ditempuhnya. Kakek tunjukkan kepada cucuku: Sebuah jalan menuju tepi laut, sebuah ke lembah yang subur, tetapi penuh belukar dan rawa-rawa yang dalam. Sebuah lagi ke puncak sebuah gunung yang banyak jurangnya. Pilihlah, yang mana akan cucu tempuh!" kata kakek, itu. '"Kalau begitu, akan kuarahkan langkahku ke lembah yang subur. Tanah subur memberikan hasil baik," sahut Pedangwangi. "Ah, cucuku, jangan cucu ambil jalan itu. Di situ diam seorang puteri yang dijaga oleh beberapa ekor buaya yang ganas. Telah banyak raja dengan pasukannya menyerang istana itu, tetapi banyak yang mati dibunuh buaya-buaya buas, yaitu penjaga istana itu. Oleh sebab itu janganlah cucu tempuh jalan itu!" nasehat kakek itu. "Ya, kakek aku akan menuju lembah subur itu juga. Aku masih muda dan ingin hendak melihat puteri muda remaja itu. Kakek doakanlah, mudah-mudahan .selamat aku sampai. Berhasillah hendaknya apa yang kucita-citakan selama ini!" jawab Pedangwangi. Dengan melambai-lambaikan tangan ke arah orang tua itu, ditinggalkan Pedangwangi tempat itu. Tidak berapa lamanya berjalan sampailah ia pada sebuah danau. Tepinya penuh dengan rawa-rawa ditumbuhi bermacam-macam tanaman air. Di tengah danau itu menonjol sebuah rumah yang besar dan indah. Terang benderang warnanya kena sinar matahari. Sedang Pedangwangi menikmati alam yang permai itu, tiba-tiba seekor buaya besar meluncur ke darat. Moncongnya besar, penuh dengan gigi tajam, menganga, siap hendak menerkam. Enam ekor anaknya yang hampir sebesar induknya mengikuti dari belakang. Induk buaya itu melontarkan ekornya hendak memancung badan Pedangwangi. Bagaikan kilat Pedang wangi mencabut pedang bengkoknya, siap menahan serangan. Dengan lincahnya ia melompat ke kiri dan ke kanan. Berkat ketangkasannya dapatlah ia membunuh buaya anak beranak, penjaga-penjaga danau itu. Disapunya pedang yang berlumuran darah, lalu naik ke sebuah sampan yang tertambat di tepi rawa. Berkayuhlah ia ke tengah danau, menuju rumah indah. di atas pulau yang rimbun itu. Dari jendela, tuan puteri melihat perjuangan yang hebat antara buaya-buaya pengawal danau itu dengan Pedangwangi. Binatang-binatang buas itu habis mati semuanya. Dekat kaki tuan puteri, di muka pintu, berbaring seekor buaya jantan, lebih besar dari buaya yang terbunuh dalam perkelahian tadi. Buaya itu berkata: "Ya, tuan puteri, cobalah perhatikan pemuda yang datang itu. Dalam pertempuran tentu ia kehausan dan hendak minum." Tuan puteri melihat pemuda itu turun dari sampannya dan mendarat. Pedangwangi duduk berjongkok, menekankan kedua belah telapak tangannya di batu, lalu menghirup air danau, melepaskan dahaga. Diceritakan tuan puteri perbuatan. anak muda itu. "Ah, matilah aku. Sangat sakti pemuda itu. Kalau dia minum dari telapak tangannya, akan habis nyawanya," kata buaya itu. "Eh, apa pula yang dilakukan pemuda itu?" seru tuan puteri. "Ah, sungguh aneh, ia melompat dan memetik dengan mulut buah jambu yang ranum-ranum lalu dimakannya!" "Ya, tuan puteri, telah sampai rupanya ajalku. Itu adalah suatu pertanda bagiku," sahut raja buaya itu, "tak dapat saya membela tuan puteri lagi, karena ia lebih sakti dari padaku." Tidak berapa lama kemudian Pedangwangi sudah berada di ambang pintu. la berdiri dengan tegap, memegang pedang bengkok yang tajam dan berkilau-kilauan. "Ayoh! Nyah engkau dari sini, mengapa engkau datang kemari?" seru buaya itu dengan dengus yang menakutkan. Bagaikan kilat sambil melayangkan ekor ia menyerang menyambar Pedangwangi. Tetapi Pedangwangi siap dan waspada, mengelakkan serangan itu, lalu memutarkan badannya ke kiri. Seperti petir pedang bengkoknya memotong pangkal ekor buaya itu dan ekor itupun jatuh terkulai di lantai. Rahang buaya sudah hendak menjapit badan Pedangwangi, tetapi Pedangwangi telah berada di atas kepala buaya itu. Dengan cekatan rahang atas buaya itu ditariknya kuat-kuat sampai patah berderak-derak. Penjaga istana itu meraung kesakitan, lalu mati tak bergerak lagi. Sesudah Pedangwangi membersihkan hutan pulau itu dari binatang-binatang buas, iapun mendapatkan tuan puteri, yang bernama Magdalena. Diceritakan Magdalena, apa sebabnya ia sampai ke pulau itu. Karena berbuat sesuatu yang tidak senonoh dan melawan orang tua, ia dibuang ke pulau yang terpencil itu, cukup dengan pesuruh dan inang pengasuh. Maka segera dilaksanakan perkawinan mereka, dan hiduplah mereka di rumah indah itu aman tenteram sebagai suami isteri. Bagaimana pula halnya dengan anak-anak raja, yang berdiam tidak berapa jauhnya dari pulau itu? Setelah diketahui bahwa buaya-buaya penjaga pulau itu habis mati semuanya, pergilah mereka menemui kakek yang tinggal dipersimpangan jalan dahulu. Diceritakannya oleh kakek itu, bahwa pemuda itu sangat sakti. Dengan tangkas ia dapat mengalahkan penjaga-penjaga yang ganas, terdiri dari binatang-binatang buas di pulau itu. Senjatanya hanya sebuah pedang bengkok, besar dan tajam. Di dalam senjata itu tersimpan kesaktian anak muda itu. Salah seorang anak-anak raja itu mendapat ilham menyuruh seorang pesuruh istana mencuri pedang itu, Tengah malam dibawa lari oleh pesuruh itu senjata Pedangwangi. Tetapi pesuruh itu kehilangan akal, tak tahu hendak diapakannya senjata itu. Akhirnya dilemparkannya saja pedang sakti itu ke dalam danau. Pedangwangi tidur nyenyak di ranjang yang indah dan semerbak baunya. Di pagi hari ketika hendak bangun tidur, ia merasa lesu dan sakit. la tak dapat berdiri lagi dan jatuh sakit tak bisa bergerak. Pada suatu pagi, .. . jauh dari tempat Pedangwangi berbaring, Bintangsari ke luar dari balairung. Dilihatnya tetesan darah di lantai, di bawah pintu. Dipanggilnya Duyungtunggal, lalu berkata: "Saudaraku, lihatlah, tetesan darah ini jatuh tak henti-hentinya. Ini adalah suatu peringatan kepada kita, bahwa sahabat kita Pedangwangi dalam bahaya. Marilah kita segera berangkat." Dipacunya kuda mereka melalui jalan yang dahulu ditempuh Pedangwangi. Ketika sampai di simpang empat, bertanyalah mereka kepada orang tua penjaga menara, kemana arah Pedangwangi pergi. Berceritalah orang itu apa yang terjadi selama ini. Bintangsari dan Duyungtunggal mengucapkan terima. kasih atas penjelasan itu, lalu memacu kuda mereka. Setelah menyeberangi danau sampailah mereka di tempat peraduan Pedangwangi. Berceritalah Pedangwangi, bahwa pedang bengkoknya dicuri orang. la tidak mungkin sembuh, bila pedang sakti itu tak ada padanya lagi. Bintangsari dan Duyungtunggal segera bertindak. Ditemukan mereka pedang itu berada di dasar danau yang dalam. Dengan mudah Duyungtunggal menyelam mengambil pedang bengkok itu. Ketika pedang sakti telah berada di pinggang Pedangwangi, sembuhlah ia dari penyakitnya. Dengan gembira ia bangun dari tempat tidurnya. Tepat benar saatnya Bintangsari dan Duyungtunggal sampai ke pulau itu. Beberapa hari kemudian datanglah raja-raja keliling danau menyerang Pedangwangi. Beratus-ratus prajurit telah sampai di pulau itu. Apa yang diperbuat oleh ketiga sahabat itu? Ketiga pahlawan itu berdiri dengan tak gentar menghadapi musuh. Pedangwangi berdiri menghadap ke utara dengan pedang bengkoknya. Bintangsari menahan musuh dari barat dengan bintang-bintangnya yang tajam. Duyungtunggal siap menanti musuh dari timur dengan panah wasiatnya. Di belakang mereka berdiri istana ,besar dan kokoh dari pulau itu. Dengan tenang dan sabar mereka menantikan serangan dari tiga jurusan. Datanglah musuh dari tiga pihak menyerbu dengan gegap gempita. Duyungtunggal menarik busur saktinya. Sekali tarik anak panahnya terbang menuju sasaran. la menusuk berpuluh-puluh musuh, yang habis mati kena panah beracun itu. Begitu pula halnya dengan senjata Bintangsari, yang terdiri dari bintang-bintang tajam. Dilemparkan Bintangsari beberapa buah bintang, lalu bintang-bintang sakti ini melayang menyambar perut tentara musuh. Berpuluh-puluh orang mati tertelungkup di tanah tidak berdaya lagi. Sekali ini Pedangwangi tidak menyerang dengan pedang di tangan, melainkan dilemparkannya senjata itu kepada musuh. Pedang bengkok itu melayang menebas sekalian tentara yang berada di hadapannya. Habis bergelimpangan semuanya di tanah, Pedang sakti itu terbang kembali ke sarungnya mengabdikan diri kepada tuannya. Melihat korban tentara yang luar biasa itu, maka anak-anak raja bersama pahlawan mereka yang masih hidup mundur dan pulang ke negeri mereka. Pada suatu hari berkata Pedangwangi kepada kedua sahabat: "Bintangsari dan Duyungtunggal, marilah kita tinggalkan pulau dan rumah indah ini. Seakan-akan ada seruan ibuku karena sudah lama aku tak pulang. Aku merindukan sangat ibuku." Tidak seorangpun yang tak setuju. Berangkatlah ketiga sahabat itu bersama Magdalena isteri Pedangwangi. Lebih dahulu mereka singgah ke negeri isteri Bintangsari, sebab Bintangsari hendak membawa pula Ismaiti bersama-sama. Alangkah gembiranya raja menerima keempat orang itu. Ketika Baginda mendengar permohonan Bintangsari hendak membawa isterinya ke tanah airnya, ia terkejut dan bersedih hati. Baginda telah lama bermaksud hendak menobatkan Bintangsari menjadi raja menggantikan Baginda. Dengan demikian Ismaiti, puteri yang sangat disayanginya, dapat hidup tenteram bersama Baginda. Dipanggil Baginda Ismaiti lalu bersabda: "Anakku sayang, Bintangsari hendak membawa anakku ke negerinya dan meninggalkan ayahanda. Ayahanda tak sanggup melepas. ananda pergi, sebab ayahanda sudah tua, tak tahan bercerai dengan ananda. Bagaimana pikiran anakku? Maukah anakku tinggal bersama ayahanda, atau sukakah anakku mengikuti suami?" Puteri Ismaiti termenung sejenak, lalu menjawab: "Ya, ayahku yang kucintai, sebagai seorang isteri, aku harus bersama suamiku ke mana ia pergi." Jawaban yang tak terduga-duga itu menimbulkan amarah Baginda. Dengan muka merah padam Baginda bersabda: "Anakku Bintangsari! Anakku boleh berangkat dengan teman-teman anakku, tetapi Ismaiti harus kau tinggalkan di istana ini." Ketiga pahlawan itu terdiam mendengarkan ucapan Baginda itu. Apa yang dibuat oleh Pedangwangi? Ditegakkannya Ismaiti di antara Bintangsari dan Duyungtunggal yang segera mengepit pinggang Ismaiti. Ismaiti meletakkan ke dua belah tangannya ke atas bahu sahabatnya itu. Berpegang-peganganlah mereka bertiga. Pedangwangi berseru: "Ayo, berangkat kalian bertiga! Lekas, lekas!" Baginda berteriak: "Lekas, tutup pintu! Tangkap, tangkap semuanya! Masukkan ke penjara!" Puteri Ismaiti terjun bersama-sama temannya ke bawah, tidak melalui pintu, melainkan melalui jendela. Tidak lain anggapan Baginda, tentulah mereka bertiga hancur lebur tiba di halaman. Tidak demikian halnya. Mereka lari tertawa-tawa dengan gembira. Bukan main tercengangnya Baginda menyaksikan hal yang ajaib itu. Dalam pada itu Pedangwangi menyambar tangan isterinya Magdalena, lalu lari ke luar. Sekali lagi Baginda berteriak: "Tangkap, tangkap!" Pedangwangi menghunus pedang bengkoknya dan membunuh sekalian penjaga pintu istana itu. Diikuti sahabatnya yang bertiga, yang lari terlebih dahulu. Raja menyuruh bunyikan genderang perang, dan berpuluh-puluh perajurit segera mengejar pahlawan-pahlawan itu. Pedangwangi berhenti lalu berseru: "Hai, perajurit-perajurit kalau engkau masih sayang akan jiwamu, kembalilah kepada rajamu, katakan kamu tak sanggup menangkap kami. Kalau tidak, akan matilah kalian!" "Hai, anak muda yang sombong, akan kami tangkap juga engkau. Kami mesti melaksanakan perintah raja," jawab kepala perajurit-perajurit itu. Dengan tak sabar lagi dicabut Pedangwangi pedangnya, lalu mengamuk ke dalam pasukan itu. Berpuluh-puluh mati terkapar di tanah termasuk dua orang pahlawan yang sakti. Melihat itu habis larilah tentara yang lain pontang-panting, kembali ke negerinya. Beberapa hari berkuda sampailah ketiga pahlawan sakti itu bersama isterinya di rumah, di mana Pedangwangi dilahirkan. Mereka turun dari kuda berpegang-pegangan tangan menuju ibu Pedangwangi, yang sedang berdiri di muka pintu. Duyungtunggal yang suka berolok-olok berkata: "Ibu, kami ini hendak bertemu dengan anak ibu!" Perempuan itu menatap ketiga anak laki-laki itu. Karena ke tiganya sebaya, sama besar dan sama gagah serta tangkas, tak dapat ia membedakannya. la menangis tersedu-sedu, lalu menjawab: "Ya, anakku, anak ibu telah lama benar pergi merantau. Sampai sekarang belum juga ia pulang. Ibu sangat merindukannya!'' "Ibu, perhatikanlah kami sekali lagi," berkata Duyungtunggal, "barangkali ada anak ibu di sini." Tak tertahan lagi hati Pedangwangi merindukan ibunya. la melompat, lalu bersujud: "Ibu, inilah anak ibu, yang ibu nanti-nantikan." Sambil menangis ia memeluk dan mencium ibunya. Kemudian diperkenalkan Pedangwangi ke dua sahabat karibnya itu, Bintangsari dengan isterinya Ismaiti dan Duyungtunggal, serta kawan hidupnya Magdalena. Alangkah besarnya hati ibu Pedangwangi melihat anaknya telah menjadi seorang pahlawan yang gagah dan perkasa. Siang malam mereka menceritakan pengalaman mereka, suka duka, selama dalam perantauan. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================